Jakarta, desapedia.id – Sejumlah survei internasional menunjukkan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia masih membutuhkan pembenahan.
Regulatory Quality Index yang dikeluarkan oleh World Bank, menunjukkan bahwa sejak 1996-2016 kualitas peraturan perundang-undangan Indonesia masih berada di kelompok negara dengan kualitas regulasinya lemah.
Nilai rata-rata Indonesia selama periode tersebut adalah 0,36. Nilai terendah terjadi pada 2003 dengan skor-0,8. Sedangkan nilai tertinggi dicapai pada 1996 dengan skor 0,05. Walaupun masih lemah, namun dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan skor.
Data terakhir Regulatory Quality Index pada 2007 menunjukkan skor Indonesia adalah -0,11. Lima besar negara yang meraih skor tertinggi secara berurutan adalah Hongkong (2,16), Singapura (2,12), New Zealand (2,09), Netherland (2,05) dan Australia 1,93). Sedangkan lima negara yang berada di posisi terbawah adalah Korea Utara (-2,34), Somalia (-2,29), Libya (-2,21), Eritrea (-2,20) dan Turkmenistan (-2,00). Di antara negara ASEAN, Indonesia masih kalah dengan beberapa negara, selain Singapura yang berada di posisi kedua teratas, yaitu Malaysia (0,68), Thailand (0,14) dan Philipina (0,02).
Sementara itu, dari data Global Competitiveness Index 2018, posisi Indonesia mengalami peningkatan. Indonesia berada di posisi 45 dari 140 negara. Naik dua tingkat dari tahun sebelumnya yang berada di posisi 47.
Ada tiga komponen indeks dari Pilar 1 Global Index Competitiveness 2018 yang berhubungan dengan regulasi. Pertama, terkait dengan efficiency of legal framework in challenging regulations, posisi Indonesia ada di peringkat 37 dengan skor 49,8. Skor ini naik dibandingkan tahun sebelumnya.
Kedua, terkait burden of government regulation, posisi Indonesia berada di peringkat 26. Ketiga, terkait dengan conflict of interest regulation, Indonesia berada di peringkat 65.
Indonesia masih memerlukan perbaikan dalam sistem peraturan perundang-undangan. Setidaknya mengacu pada dua index tersebut. Permasalahan peraturan perundang-undangan sudah jamak diketahui. Gejala-gejalanya pun juga sudah sering mengemuka dalam berbagai diskursus baik di ruang publik maupun birokrasi. Hiper regulasi, tumpang tindih, ego sektoral maupun tidak efektifnya reglasi merupakan beberapa gejala yang sering dihadapi dalam sistem perundang-undangan. Dampaknya sangat serius terhadap kelancaran pembangunan nasional.
Demikian Ringkasan Kajian dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang disampaikan oleh Muhammad Nur Solikhin, Direktur Eksekutif PSHK dalam Seminar Nasional “Agenda Reformasi Regulasi: Menata Fungsi dan Kelembagaan dalam Sistem Perundang – Undangan Indonesia” yang diselenggarakan juga oleh PSHK di Jakarta, Rabu (13/2).
Lebih lanjut Solikhin memaparkan bahwa Bappenas, sebagai langkah awal penyusunan RPJMN 2020-2024 telah melakukan kajian Background Study Reformasi Regulasi.
Kajian ini mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan mendasar dalam sistem perundang-undangan serta menyusun rekomendasi perbaikan. Kajian ini menemukan sejumlah persoalan besar yang perlu segera diselesaikan secara sistematik dan berkesinambungan. Beberapa permasalahan yang menjadi temuan yaitu:
Pertama, belum sinkronnya perencanaan peraturan perundang-undangan dengan perencanaan pembangunan. Artinya, perencanaan pembangunan tidak terintegrasi dengan perencanaan legislasi. Dari sisi pemerintah pada RPJMN 2015-2019 terdapat usulan 84 RUU, sementara dalam Prolegnas teradapat 82 RUU.
Dari jumlah tersebut hanya 70 RUU yang snkron antara RPJMN dengan Prolegnas. Masih terdapat RUU yang tidak sinkron dengan perencanaan. Di sisi regulasi daerah juga masih menyimpan banyak persoalan. Sebelum kewenangannya dicabut oleh MK, pada 2016 pemerintah membatalkan 3143 perda karena dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya yang mengindikasikan bahwa peraturan tersebut tidak sejalan dengan kebijakan nasional.
Kedua, hiper regulasi yang terjadi dalam sistem perundang-undangan. Selama 2014-sampai dengan penghujung 2018 terdapat 7621 peraturan menteri. Jumlah peraturan pemerintah pada periode yang sama adalah 430, dan untuk peraturan presiden sebanyak 709. Jumlah undang-undang setiap tahunnya mengalami penurunan yang signifikan.
Data tersebut menunjukkan hiper regulasi terdapat pada peraturan di bawah undang-undang. Bisa dibayangkan dari jumlah yang banyak tersebut apabila tiap peraturan tidak sinkron karena ego sektoral maka menjadi permasalahan masyarakat terkait dengan kepastian hukum.
Ketiga, lemahnya perencanaan peraturan perundang-undangan. Di level undang-undang telah terjadi penurunan jumlah yang signifikan dari pemerintah dalam mengusulkan RUU ke dalam Prolegnas. Setiap tahun pemerintah mengusulkan rata-rata 20 RUU masuk dalam prioritas naisonal. Sementara itu, terkait dengan penyusunan peraturan pemerintah dan peraturan presiden menunjukkan perlunya pembenahan sistem perencanaan. Selama 2014-2018, secara keseluruhan terdapat 559 RPP yang masuk ke dalam program penyusunan (progsun).
Dari jumlah tersebut hanya 78 yang dibentuk. Namun terdapat 378 PP yang dibentuk namun di luar progsun. Untuk peraturan presiden, pada periode yang sama terdapat 289 rancangan perpres yang masuk dalam progsun. Dari jumlah tersebut hanya 34 Perpres yang dibentuk. Namun, terdapat 717 Perpres yang dibentuk di luar progsun.
Terkait dengan permasalahan tersebut sejumlah inisiatif telah dan sedang dijalankan oleh pemerintah. Bappenas pada 2015 telah menyusun Strategi Nasional Reformasi Regulasi. Beberapa kegiatan juga sudah direalisasikan sebagai bagian Strategi Nasional etrsebut diantaranya simplifikasi peraturan perundang-undangan.
Background Study ini melanjutkan upaya perbaikan secara menyeluruh dan sistematik dalam sistem perundang-undangan. Sejumlah strategi direkomendasikan sebagai hasil dari kajian ini untuk menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan dalam sistem peraturan perundang-undangan.
Strategi tersebut meliputi (i) sinkronisasi sistem perencanaan melalui integrasi sistem perencanaan peraturan perundang-undangan dengan perencanaan pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah, (ii) pengendalian proses pembentukan peraturan perundang-undangan melalui harmonisasi dan sinkronisasi yang lebih ketat, (iii) optimalisasi perencanaan legislasi yang lebih terukur dan relevan dengan kebutuhan, (iv) pelembagaan fungsi monitoring dan evaluasi dalam sistem peraturan perundang-undangan, dan (v) pengintegrasian fungsi dalam sistem peraturan perundang-undangan melalui penataan kelembagaan dan penguatan sistem pendukung. (Red)