Lewati ke konten

Kepatuhan Pemerintah Desa Terhadap Keterbukaan Informasi Publik Masih Rendah?

Kepatuhan Pemerintah Desa Terhadap Keterbukaan Informasi Publik Masih Rendah? - Desapedia

Penandatanganan Nota kesepahaman kerjasama keterbukaan infromasi publik telah ditandatangi oleh Sekjen Kemendes PDTT, Taufik Madjid dan Ketua KIP, Gede Narayana

Jakarta, desapedia.id – Menurut data yang dilansir oleh Komisi Informasi Publik (KIP) pada tahun 2020 lalu, dari 384 badan publik, ada 254 badan yang memiliki kepatuhan rendah dalam melaksanakan keterbukaan informasi publik. Lalu bagaimana dengan kepatuhan Pemerintah Desa (Pemdes)) terhadap keterbukaan informasi publik di desa?

Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa sesugguhnya memberikan otoritas dan kewenangan yang cukup besar untuk desa, termasuk kewenangan dalam mengelola dana desa. Undang-Undang Desa juga mengamanahkan keterbukaan informasi publik di desa.

Beberapa pasal yang dimaksud misalnya Pasal 24 yang menyebutkan ‘Asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa salah satunya adalah keterbukaan’. Selanjutnya Pasal 26 ayat (4) huruf (f) yang menyebutkan ‘Kepala Desa berkewajiban untuk melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme’.

Kemudian Pasal 27 huruf (d) yang menyebutkan ‘Kepala Desa wajib memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran’, dan beberapa pasal lain yang berkaitan.

Karena itu, pemerintah terus berupaya mendorong terwujudnya keterbukaan informasi publik di 74.961 desa yang dalam 7 tahun terakhir ini seringkali dipermasalahkan oleh banyak organisasi non pemerintah.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) kemudian menjalin kerjasama dengan Komisi Informasi Pusat (KIP) terkait keterbukaan informasi publik di desa. Nota kesepahaman kerjasama tersebut telah ditandatangi oleh Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT, Taufik Madjid dan Ketua KIP, Gede Narayana di Jakarta, Selasa lalu (4/5).

Taufik Madjid mengatakan, mendorong adanya keterbukaan informasi publik di desa penting dilakukan untuk memastikan transparansi pelaksanaan dana desa dapat terlaksana dengan baik.

Menurutnya, pelaksanaan program dana desa wajib diketahui seluruh masyarakat desa, mulai dari proses perencanaan hingga proses pelaksanaan program.

“Kami bersyukur dengan adanya kerjasama ini, harapannya KIP bisa membantu mendorong amanah Undang-Undang Desa (yang berkaitan dengan keterbukaan informasi publik) bisa dilakukan di seluruh desa. Dana desa menjadi tumpuan pembangunan kita. Semuanya harus transparan dan akuntabel”, ujarnya usai penandatanganan MoU tersebut.

Dana desa sendiri telah disalurkan oleh pemerintah sejak tahun 2015. Tahun ini saja, total dana desa yang disalurkan langsung ke desa berjumlah Rp72 Triliun untuk 74.961 desa.

Taufik berharap, pelaksanaan dana desa yang akuntabel dan transparan dapat membantu mempercepat peningkatan kualitas hidup masyarakat desa.

“Tujuan dari dana desa ini, kita ingin ada peningkatan kualitas hidup masyarakat desa dan menurunkan angka kemiskinan,” ujarnya.

Agung Heri Susanto, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa seluruh Indonesia (DPP APDESI) mengatakan, terkait informasi desa, dirinya agak berbeda dengan Sekjen Kemendes dan Ketua KIP. Agung lebih suka menyebutnya dengan keterbukaan informasi desa.

“Maaf karena di dalam UU 6 nomor tahun 2014 BAB VI Pasal 67 dan 68 adalah terkait hak dan kewajiban Desa dan Masyarakat Desa. Lebih simpelnya begini, menurut saya Pemerintah Desa bertanggungjawab membuka ruang publik selebar–lebarnya lebih kepada masyarakat desa, bukan menyajikan informasi publik kepada lembaga lain. Yang kadang bukan penduduk warga desa setempat, tetapi meminta data–data desa dengan dalil keterbukaan Informasi Publik”, ujar Sekjen DPP Apdesi Agung Heri Susanto yang juga Kepala Desa Sidorejo, Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini dalam wawancaranya dengan desapedia.id pada Rabu (6/5) lalu.

Agung menjelaskan, melihat regulasi pada sistem Pemerintah Desa untuk sebuah keterbukaan informasi  mestinya berbeda dengan Pemerintah Daerah, karena dalam sistem pelaksanaan kegiatan esensinya di lakukan dari oleh dan untuk masyarakat desa. Lembaga yang dimaksud Agung antara lain BPD, LPMD, RW, RT, POKMAS dan lain–lain sampai pelaku kegiatan TPK, bahkan pekerjanya pun juga dari unsur masyarakat desa setempat yang dilakukan secara swakelola dan tidak boleh di pihak ketigakan.

Sehingga, lanjut Agung, pengawasan  serta keterbukaanya lebih dekat dan jelas karena keterlibatan masyarakat desa sebagai pelakunya.

Agung menilai, prinsip self governing comunity dan  local self goverment di desa mestinya menjadi sebuah guidance untuk menentukan pembatasan esensi Informasi Publik Desa yang disajikan dalam kerangka pertanggungjawaban secara eksplisit kepada masyarakat Desa itu sendiri sebagai subyek maupun obyek penyelenggara sebuah kegiatan.

“Secara prinsip, APDESI menyambut baik kerjasama Kemendes dan KIP untuk transparasi dan tersampainya sebuah informasi, kami apresiasi hal ini agar terumuskan bagaimana Informasi Publik di desa disajikan dengan elegant dan mengedepankan kearifan lokal atau local wisdom sesuai kaidah norma desa itu sendiri”, ungkapnya.

Agung menambahkan, sesungguhnya keterbukaan informasi desa selama ini sudah berjalan transparan melalui forum Musyawarah Desa atau Musdes dalam setiap tahapan yang dimulai dari proses, pelaksanaan, pengawasan di desa yang bertingkat dari masyarakat desa, BPD dan  APIP.

Bukan hanya itu saja, Agung mengatakan adanya pemasangan infografis APBDES di setiap Desa serta tersedianya data APBDES pada aplikasi elektronik yang bisa diakses terbuka di Kemendesa PDTT juga menunjukan bahwa kepatuhan Pemerintah Desa terhadap keterbukaan informasi desa sangatlah tinggi. (Red)

 

 

 

Kembali ke atas laman